BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelaksanaan
khitan/sunat perempuan di Indonesia masih banyak menuai kontroversi. Masalah
khitan perempuan dibahas di MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mendapat
pertanyaan dari Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pertanyaan tersebut
muncul disertai data penyimpanan pelaksanaan khitan perempuan di berbagai
negara. Dan dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Comulation Council
terhadap pelaksanaan sunat perempouan di enam provinsi di Indonesia yang
dibiayai oleh USAID dan Ford Fondation. Bahkan terkait dengan hal ini
departemen kesehatan RI, Dirjen Bina Kesejahteraan Masyarakat telah
mengeluarkan surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi
petugas kesehatan.
Hasil
survei Dana anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dilakukan pada
2013 dan dipublikasikan tahun 2015 lalu pada 300.000 rumah tangga di 33 provinsi
dan 497 kota menyebut bahwa lebih dari separuh anak gadis mereka telah disunat
sebelum umur 12 tahun. Data sunat perempuan tertinggi ditemukan di Provinsi
Gorotalo, dan terendah di Nusa Tenggara Timur.Data UNICEF juga menunjukkan
fakta yang mengejutkan, yakni 3 dari 4 anak gadis yang disunat mengalami
pemotongan klitoris pada umur di bawah 6 bulan.Data itu juga mengungkap bahwa
orangtua adalah orang yang paling banyak merekomendasikan anak-anak gadis ini
untuk disunat, sisanya adalah pemuka agama, saudara, dan tokoh masyarakat.
Disisi
lain terjadi beragam tata cara pelaksanaan khitan bagi perempuan yang tidak
jarang berimplikasi terhadap adanya bahaya bagi perempuan. Dalam penelitian
yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia pun telah terjadi keragaman
praktek khitan perempuan. Ada yang dengan cara menggores dan mengerik klitoris,
menusuk, mencubit, dan menindik insisi dan eksisi.
Dorongan
untuk pelarangan khitan perempuan semakin menguat dengan kampanye yang
sistematis dari WHO serta beberapa lembaga donor. Sementara itu, dalam
literatur fiqh tidak ditemukan satupun ulama madzhab fiqh yang muktabar
(terkenal) melarang khitan perempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khitan
perempuan adalah bentuk keutamaan. Hanya saja terdapat perbedaan hukum fiqh nya
antara sunah dan wajib. Belakangan ada beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf
Qordowi yang menambah ketentuan hukum “mubah=boleh”, merujuk pada kenetralan
pengertian yang diperoleh dari kata “makrumah” dalam hadis nabi “al khitanu
sunnatan lir rijal makrumatun lin nisaa = khitan merupakan sunah atau ketetapan
rosul bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi wanita.
Untuk itu
penetapan fatwa tidak lagi seputar hukum khitan bagi perempuan. Karena secara
fiqh ketentuan tersebut sudah sangat panjang lebar dijelaskan dalam berbagai
literatur, baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru baru adalah
adanya tren pelanggaran terhadap khitan perempuan secara umum. Bahkan sudah
dituangkan dalam kebijakan pemerintah, sekalipun itu hanya surat edaran, yang
dalam tata perundangan kita tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk menjaga
kualitas pelayanan kebidanan yang profesional Qur’ani, dalam makalah ini akan
dijelaskan fiqh perempuan dan budaya yang membahas mengenai sunat perempuan,
bagaimana fatwa MUI terhadap sunat perempuan dan peran pemerintah dalam
menyikapi sunat perempuan.
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui fiqh perempuan dan budaya tentang khitan perempuan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya konsep dasar khitan perempuan
b. Diketahuinya budaya terkait khitan perempuan
c.
Diketahuinya substansi
dan diktum fatwa khitan perempuan
d.
Diketahuinya argumentasi
atas penetapan fatwa khitan perempuan
e. Diketahuinya fatwa MUI tentang khitan perempuan
f.
Diketahuinya Permenkes
tentang sunat perempuan
g.
Diketahuinya undang-undang
tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan bentuk diskriminasi wanita
h.
Diketahuinya
peran bidan terkait pandangan islam terhadap sunat perempuan
C.
Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana fiqh perempuan dan budayapada khitan
perempuan ?
D.
Manfaat
1. Bagi bidan
Sebagai dasar bagi bidan untuk memberikan asuhan
kebidanan kepada perempuan sepanjang siklus hidupnya
2. Bagi institusi
Sebagai
dasar untuk dijadikan sumber pustaka mengenai fiqh perempuan dan budaya pada
khitan perempuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Dasar
Khitan Perempuan
1. Pengertian Khitan Perempuan
Secara
etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab “khatana” yang berarti “memotong”.
Khitan
perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium clitoris di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain
yang sering digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu
khifad yang berasal dari kata khafd, istilah ini khusus untuk khitan perempuan.
Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit
yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Secara
internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah female genital cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital
cutting adalah pemotongan alat kelamin sedangkan genital mutilation identik dengan perusakan alat kelamin. FGC
merupakan segala prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat
kelamin luar perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik karena didasari
oleh alasankebudayaan atau alasan nonmedis lainnya.
2. Klasifikasi Khitan Perempuan
WHO telah
melakukan klasifikasi praktek sunat perempuan ke dalam 4 tipe :
a. Tipe I : Clitoridotomy,
yaitu eksisi dari permukaan (prepuce)
klitoris, denganatau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga
dengan istilah“hoodectomy”.
b. Tipe II : Clitoridectomy,
yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora.Banyak dilakukan di
Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir,Sudan, dan Peninsula.
c. Tipe III: Infibulasi/Pharaonic
Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu eksisisebagian atau seluruh bagian
genitalia eksterna dan penjahitan untukmenyempitkan mulut vulva. Penyempitan
vulva dilakukan dengan hanyamenyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar
darah saat menstruasi dan urinetetap bisa keluar.
d. Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini
adalah menusuk dengan jarumbaik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau
insisi klitoris dan ataulabia; meregangkan (stretching)
klitoris dan atau vagina; kauterisasi
klitoris danjaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts)atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif
atau tumbuh-tumbuhanagar vagina mengeluarkan darah, menipis, dan menyempit.
3. Manfaat Sunat Perempuan
Ada
beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan
jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan
keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum
menikah, kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual laki-
laki. Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah.
4. Resiko Sunat Perempuan
Menurut
Koblinsky (2007) Resiko yang timbul akibat sunat pada perempuan dapat berupa
perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan oleh alat yang digunakantidak
steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi.
Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat membahayakan,karena
menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan. Dari tindakan
sunatperempuan dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat jangka panjang
padaperempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis,disfungsi
seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan meningkatkan resiko
tertularHIV. Selain berdampak secara medis, sunat perempuan juga dapat
menimbulkandampak yang bersifat psikoseksual, psikologis, dan sosial.
B.
Budaya Terkait
Khitan Perempuan
Praktik
khitan perempuan atau sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian antropologi
menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah ada pada mummi perempuan Mesir yang
justru ditemukan pada golongan kaya dan berkuasa, bukan dari rakyat jelata pada
abad ke-16 SM. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah
masuknya roh jahat melalui vagina. Khitan pada mummi itu memiliki
tandaclitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Selain ditemukan
pada bangsa Mesir, khitan juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di lembah
Nil; yakni Sudan, Mesir dan Ethiopia.
Di
Indonesia banyak provinsi yang masih menerapkan sunat perempuan. Sunat
perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang timbul sejak dahulu dari
berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai budaya. Alasan inilah yang
menyebabkan terpeliharanya dan tetap berlangsungnya sunat perempuan. Secara
umum, perempuan yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah
mereka yang hidup dalam masyarakat tradisional di wilayah pedalaman.
WHO membedakan alasan pelaksanaan sunat perempuan
sehingga masih membudaya sebagai berikut :
1. Psikoseksual
Sunat
pada perempuan berawal dari keinginan laki-laki untuk mengendalikan seksual
wanita. Dalam tradisi masyarakat, laki-laki tidak akan menikahi wanita yang
belum disunat dan menganggap wanita tersebut akan gemar bersetubuh dengan siapa
saja, tidak bersih dan tidak layak dipercaya secara seksual. Dalam masyarakat
yang mempraktekkan sunat perempuan, seorang perempuan yang tidak disunat tidak
akan mendapatkan jodoh dan kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat
diragukan oleh masyarakat.
2. Sosiologi
Secara
sosiologi khitan pada perempuan merupakan bagian dari identifikasi warisan
budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa kedewasaan, integrasi sosial dan
memelihara kohesi sosial.
3. Kebersihan
Alasan
kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan dalil pembenaran yang diakui oleh
masyarakat untuk melakukan sunat perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkkan
dengan tindakan pensucian dan pembersihan oleh masyarakat.
4. Mitos
Budaya yang
berhubungan dengan sunat perempuan yang perlu mendapat perhatian adalah
mitos-mitos yang mendasari pelaksanaan sunat perempuan. Masyarakat meyakini
bahwa bila anak perempuan yang tidak disunatkan akan menjadi nakal dan genit.
Mitos lain yang berkembang dimasyarakat yaitu sunat perempuan akan menjadikan
perempuan lebih feminim, mengontrol kegiatan seksual perempuan dan menjadikan
perempuan selalu tunduk kepada laki-laki.
5. Agama
Landasan
agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada perempuan sampai
sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat, diantaranya adalah beberapa
pendapat yang mengatakan kewajiban bersunat dalam agama islam walaupun sejarah
menemukan sunat perempuan sudah ada sebelum adanya islam. Ada sekelompok umat
islam yang berpandangan bahwa jika perempuan tidak di khitan tidak
diperkenankna membaca Al-Quran dan melakukan shalat lima waktu.
C.
Substansi dan Diktum
Fatwa Khitan Perempuan
Diktum
fatwa MUI No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan
Khitan Terhadap Perempuan” terdiri dari 4 bagian :
1. Status hukum khitan perempuan
a. Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk
fitrah atau aturan dan syiar islam
b. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah,
pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
2. Hukum pelarangan khitan terhadap perempuan
Pelarangan
khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah, karena
khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah atau aturan dan
syiar islam.
3. Batas atau cara khitan perempuan
a. Khitan perempuan cukup dengan hanya menghilangkan
selaput ( jaldah/colum) yang menutupi
klitoris
b. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara
berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris ( insisi dan eksisi) yang
mengakibatkan dloror (bahaya dan merugikan)
4. Rekomendasi
a. Meminta kepada pemerintah departemen kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan / regulasi tentang
masalah khitan perempuan.
b. Menganjurkan kepada pemerintah untuk memberikan
penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan
sesuai dengan ketentuan fatwa MUI.
Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ingin
menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu menegaskan (tidak menyetujui) tindak
pelarangan khitan terhadap perempuan dan menegaskan tata cara berkhitan bagi
perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang tindakan berlebihan
dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan baik secara fisik
maupun psikis.
D.
Argumentasi atas
Penetapan Fatwa Khitan Perempuan
Fatwa MUI
terkait dengan masalah khitan perempuan diawali dengan adanya penegasan bahwa
khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah dan syiar islam.
Pelaksanaannya merupakan bagian dari ibadah. Hal ini menjadi penting untuk
ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan
tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang
dogmatik. Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut
melahirkan hikmah positif.
Fatwa ini berdasar pada keumuman ayat tentang
perintah mengikuti millah Ibrahim sebagaimana dalam Al Quran surat Ali Imron
ayat 95 :
Katakanlah : “Benarlah (apa yang difirmankan)
Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang musyrik.
Surat An-Nisa ayat 125 :
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ? dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayangn-Nya.
Surat Ali Imron ayat 31 :
Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah
maha pengampun lagi maha penyayang.
Penetapan fatwa bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan
adalah dengan syariah, didasarkan pada
keumuman ayat-ayat Al-Quran tersebut diatas. Sunnah dan pandangan ulama madzhab
yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap perempuan. Secara tersirat,
terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai ketidakbenaran tindakan
pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat bahwa khitan terhadap
perempuan tidak haram, pun tidak makruh.
Dalil Al-Quran yang dijadikan landasan fatwa MUI ini adalah keumuman ayat tentang
keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain surat An Nahl ayat 123 :
Kemudian
kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”
dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam konteks ayat ini ada penjelasan dari hadis nabi SAW
shaheh, riwayat Bukhari Muslim yang artinya : “nabi Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan menggunakan
kapak.”
E. Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan : Moderasi atau
Jalan Tengah Antara Dua Ekstrim
Dari
paparan di atas, dapat kita pahami bahwa fatwa MUI terkait dengan masalah
khitan perempuan merupakan langkah modernisasi diantara dua ekstrim. Jika digambarkan
secara sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan ada dua kutub yang
berlawanan, yaitu :
1. Pihak yang melakukan khitan terhadap perempuan
dengan praktek yang secara pasti membahayakan seperti dengan menjepit dan
sejenisnya, menutup dan menjahit vagina, mengambil seluruh klitoris dan labia
baik labia mayora maupun minora dan praktek lain yang membahayakan sebagaimana
digambarkan terjadi di beberapa negara di Afrika Utara.
2. Pihak yang melarang seluruh praktek khitan perempuan
dengan alasan sebagai bentuk kekerasan, mutilasi dan pelanggaran hak asasi
manusia. Banyak tulisan yang bernada sangat provokatif dan memaksakan opini
bahwa khitan perempuan adalah tindakan kriminal yang harus diberangus.
Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrim tersebut,
karena keduanya secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan
normatif yang dikembangkan islam. Kepada pihak yang menyatakan pelarangan
mutlak terhadap khitan perempuan secara agama jelas bertentangan, sebagaimana
tersebut dalam diktum kedua fatwa yang dijelaskan di atas. Namun demikian fatwa
MUI tidak menutup mata terhadap fatwa adanya berbagai praktek khitan perempuan.
Fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan
sesuai dengan ketentuan syariah. Penentuan batasan atau tatacara khitan
tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan nabi SAW yang menekankan 3
prinsip, yaitu :
1.
Sedikit saja
2.
Tidak berlebihan
3.
Tidak
menimbulkan bahaya
Rasulullah SAW hanya
memperbolehkan pemotongan dalam sunat dilakukan dengan syarat tidak berlebihan,
sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual dan dampak
pfisik lainnya. Di samping itu, penetapan batas atau tatacara khitan juga
merujuk pada pendapat beberapa ahli kedokteran, diantaranya kesimpulan dalam
presentasi Prof.Dr.Jurnalis Uddin (Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Jakarta) yang menegaskan bahwa khitan pada laki-laki hanya memotong preputium penis, mestinya yang dilakukan
pada khitan perempuan adalah juga memotong
preputium klitoris saja. Dengan demikian khitan terhadap perempuan secara
umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja karena secara
anatomis antara keduanya berbeda, maka tatacaranya juga berbeda. Khitan lelaki
dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah) sedang pada
perempuan dilakukan dengan membuang kulup yang menutup klitoris (bizhr).
Fakta terhadap adanya
berbagai dampak negatif yang ditemukan, lebih sebagai akibat penyimpangan dari
praktek khitan perempuan tersebut. Untuk itu sebagai tindak lanjut dari langkah
moderat dalam penyimpangan terhadap masalah khitan perempuan, fatwa MUI
diakhiri dengan dua point rekomendasi. Kedua rekomendasi tersebut diberikan
mengingat masalah khitan perempuan sebagai salah satu bentuk ibadah, dalam
hukum islam termasuk dalam masalah Fiqh Ijtima’i ( yang punya dimensi sosial),
sehingga membutuhkan intervensi dari pemegang kebijakan publik.
Dari fatwa tersebut,
MUI menyetujuia adanya pelarangan khitan perempuan yang menyimpang, tetapi
mendukung sepenuhnya kelompok yang memperbolehkan khitan perempuan dengan cara
yang sesuai dengan syar’i terseut, dengan 3 prinsip yang dikemukakan oleh nabi
SAW dalam hadis-hadisnya.
F.
Permenkes
Tentang Sunat Perempuan
Penegasan
mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan oleh MUI. Hampir
seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang terkait dengan masalah ini.
Bahkan NU dalam mukhtamarnya yang ke 32 di Makasar pada tahun 2010 menegaskan
bahwa khitan perempuan menurut Imam Syafi’i hukumnya wajib seperti khitan bagi
laki-laki.
Atas
dasar realitas ini kemudian pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan
melakukan review terhadap masalah tersebut. Dalam review tersebut seluruh
pemangku kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengevaluasi dan memberikan
masukan terkait dengan sunat perempuan. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli
dan sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI dan juga dari kalangan
akademisi.
Masalah
yang selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya
standar operational prosedur (SOP),
dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga terjadi penyimpangan yang
membahayakan. Atas dasar inilah maka Menteri Kesehatan menerbitkan Peratuaran
Menteri Kesehatan No.1636/MENKES/PER/XI/2010,dalam pasal 4 telah mengatur
mengenai syarat dan prosedur pelaksanaan
sunat perempuan, yaitu :
1. Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan
persyaratan :
a. Di ruangan yang bersih
b. Tempat tidur / meja tindakan yang bersih
c. Alat yang steril
d. Pencahayaan yang cukup
e. Ada air bersih yang mengalir
2. Pelaksanaan sunat perempuan dengan prosedur tindakan
sebagai berikut :
a. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang
mengalir
b. Gunakan sarung tangan steril
c. Pasien berbaring terlentang, kaki direntangkan
secara hati-hati
d. Fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan
e. Cuci vulva dengan povidon iodin 10% menggunakan kain kasa
f. Bersihkan kotoran yang ada di antara frenulum klitoris dan glan klitoris sampai bersih
g. Lakukan goresan pada frenulum klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali
pakai berukuran 20-22G dari sisi mukosa ke arah kulit tanpa melukai klitoris
h. Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodin 10%
i.
Lepas sarung
tangan
j.
Cuci tangan
dengan sabun dan air bersih yang mengalir
G. Undang-undang Tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Bentuk Diskriminasi Wanita
Sejalan dengan
kampanye pelarangan sunat perempuan, muncul opini sistematis bahwa khitan
perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan, merusak alat produksi
dan opini stereotipikal lainnya. Gagasan dan semangat perlindungan hak asasi
termasuk hak anak dan hak perempuan menjadi komitmen semua bangsa yang
berbudaya, apapun agamanya.
Secara
rinci Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 memberikan jaminan perlindungan
kesehatan terhadap pelaksanaan khitan perempuan tanpa terjebak pada wilayah
agama dan keyakinan. Permenkes ini mengikat bagi orang yang akan melaksanakan
sunat perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan sesuai kompetensinya, pada pasal 2
Permenkes menegaskan bahwa sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan tertentu yang meliputi dokter, bidan dan perawat yang telah memiliki
surat ijin praktek atau surat ijin kerja dan diutamakan yang berjenis kelamin
perempuan. Sementara untuk menjamin bahwa pelaksanaan sunat perempuan bersifat
opsional, maka pasal 3 menegaskan bahwa pelaksanaan khitan perempuan hanya
dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat,
orangtua dan atau walinya. Dan diinformasikan kemungkinan terjadinya
perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip
perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Ketentuan ini dengan sifatnya berbasis permintaan, juga
sekaligus menjawab tudingan sebagian orang bahwa pemerintah telah masuk dalam
urusan agama.
Untuk
menegaskan perlindungan terhadap anak yang akan disunat dan mencegah terjadinya
komplikasi, sunat perempuan tidak dapat dilakukan pada perempuan yang sedang
menderita infeksi genitalia eksterna. Sunat perempuan juga dilarang dilakukan
dengan cara mengkauterisasi klitoris, memotong atau merusak klitoris baik
sebagian atau seluruhnya, memorong atau merusak labia minora, labia mayora,
hymen dan vagina baik sebagian atau seluruhnya. Ketentuan ini sekaligus
mengkonfirmasi praktek sunat perempuan yang tidak dibenarkan secara medis. Permenkes
ini juga sekaligus menjadi benteng untuk mencegah penyimpangan praktek sunat
perempuan yang membahayakan bagi orang yang disunat.
Walau
demikian, masih bayak yang berteriak dan menganggap permenkes ini bertentangan
dengan hak asasi manusia. Dalam pernyataan sikapnya Yayasan Kalyana Mitra dan
LSM Amnesty International menyerukan
pencabutan permenkes ini. Pernyataan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia
dan Amnesty Internasional tertanggal
23 Juni 2011 adalah sebagai berikut : “Peraturan Menteri Kesehatan
No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan harus dicabut.” Pernyataan
ini antara lain didukung oleh Yayasan Kalyana Mitra dan LBH APIK DKI Jakarta.
Dalam pernyataan sikapnya, kelompok ini mengutip Komite PBB untuk CEDAW 2007
yang menegaskan bahwa praktek sunat perempuan tidak memiliki dasar agama.
Sebagaimana dijelaskan di awal dan dipertegas dalam fatwa MUI, dalam islam praktek
sunat perempuan jelas berelasi dengan agama.
H.
Peran Bidan
Terkait Pandangan Islam terhadap Sunat Perempuan
Bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat
pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat perempuan di Indonesia. Bidan
harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan yang seharusnya dilakukan,
resiko sunat perempuan dan melakukan inform
choice dan inform consent
terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak melakukan sunat
perempuan.Peran dakwah bisa dilakukan dengan memberikan penjelasan bagaimana
sunat perempuan dalam pandangan islam kepada pasien.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khitan perempuan adalah
memotong sedikit kulit labia minora atau preputium
clitoris di atas uretra di farji atau kemaluan. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian
depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Beberapa
anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan
jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan
keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum
menikah.
Menurut Koblinsky (2007) Resiko
yang timbul akibat sunat pada perempuan dapat berupa perdarahan, tetanus,
infeksi yang disebabkan oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena
rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis
kegiatan sunat pada perempuan dapat membahayakan,karena menyangkut
menghilangkan alat vital pada perempuan.
Pada Diktum fatwa MUI
No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan Khitan
Terhadap Perempuan” dijelaskan bahwa sejatinya fatwa
MUI ingin menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu menegaskan (tidak
menyetujui) tindak pelarangan khitan terhadap perempuan dan menegaskan tata
cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang
tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan
baik secara fisik maupun psikis. Bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat
pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat perempuan di Indonesia.
Bidan harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan yang seharusnya
dilakukan, resiko sunat perempuan dan melakukan inform choice dan inform
consent terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak melakukan sunat
perempuan.
B.
Saran
1. Perlunya persamaan persepsi dengan masyarakat mengenai
sunat perempuan agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan penyimpangan yang
bersifat merugikan.
2. Perlunya bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat sunat
perempuan. Setiap terdapat perbedaan dalam masalah hukum, hendaknya di ambil
pendapat yang membawa kemaslahatan dan bukti sebuah penelitian ilmiah berkenaan
dengan manfaat atau substansi, untuk menghindari hal-hal yang merugikan
perempuan, laki-laki ataupun orang lain.
3. Bidan perlu bijaksana dalam menyikapi adanya perbedaan
pendapat mengenai sunat perempuan dan menghindari perpecahan dan melaksanakan
fungsi dakwah dengan mampu menjelaskan sunat dalam pandangan islam serta mengkaitkannya
dengan sisi kesehatan.
4. Keputusan untuk melakukan sunat perempuan atau tidak
melakukan sunat perempuan ada dtangan pasien dan orang tua pasien. Bidan
hendaknya tidak pernah memaksa pasien untuk melakukan atau tidak melakukan sunat
perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Baiquni.2010.Alqur’an Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi.Yogyakarta: Dana
Ibrahim,
Majid Sayid. 2010.Nasihat Rasul Untuk
Wanita. Jakarta : Mizan.
Kamaludiningrat,
Achmad Muchsin.dkk. 2012. Kebidanan Dalam
Islam. Bantul : Quantum Sinergis Media
Louis
Ma’luf.2010.Al Munjid fi al-Lughah wa
A’lam. Baerut: Daral-Mashriq
Muhammad
Husain. 2007. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana dan Gender. Yogyakarta :
LKiS Yogyakarta.
Peraturan
Menteri Kesehatan No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan
Subhan, Zaitunah.2009. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta:eL-Kahfi
Undang-Undang No 32 Tentang Perlindungan Anak
http://www.rappler.com/indonesia/118576-indonesia-kasus-sunat-perempuan diakses pada 23 Februari 2016 pukul 02.00 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27152/4/Chapter%20II.pdf diakses pada
24 Februari 2016 pukul 20.00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah membaca postingan saya